BAB II
PEMBAHASAN
2.1 QS. At-Taubah: 122
A.
Ayat dan
terjemahan
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ
لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ
مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ
وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Artinya:
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya.” (Q.S. At-Taubah: 122)
B.
Tafsir
Mufradat
نفر
– Nafara : berangkat
perang
لولا – Laula : Kata-kata yang
berarti anjuran dan dorongan melakukan sesuatu yang disebutkan sesudah
kata-kata tersebut, apabila itu terjadi dimasa yang akan datang. Tapi “Laula”
juga berarti kecemasan atas meninggalkan perbuatan yang disebutkan sesudah kata
itu, apabila merupakan hal yang telah lewat. Apabila hal yang dimaksud
merupakan perkara yang mungkin dialami, maka bisa juga ”Laula”, itu
berarti perintah mengerjakannya.
الفرقة
- Al- Firqah : kelompok
besar
الطائفة
– At- Ta’ifah : kelompok kecil
تفقه
– Tafaqqaha: berusaha keras untuk mendalami dan memahami suatu perkara dengan
susah payah untuk memperolehnya.
انذره
– Anzarahu : menakut-nakuti
dia.
حذره
– Hazirahu : berhati-hati
terhadapnya. (al Maragi, 1992: 84)
C.
Tafsir ‘Am
Ayat
ini menerangkan kelengkapan dari hukum-hukum yang menyangkut perjuangan. Yakni,
hukum mencari ilmu dan mendalami agama. Artinya, bahwa pendalaman ilmu agama
itu merupakan cara berjuang dengan menggunakan hujjah dan penyampaian
bukti-bukti dan juga merupakan rukun terpenting dalam menyeru kepada Allah SWT
dan menegakkan sendi-sendi Islam. Karena perjuangan yang menggunakan pedang itu
sendiri tidak disyariatkan kecuali untuk jadi benteng dan pagar dari dakwah
tersebut, agar jangan dipermainkan oleh tangan-tangan ceroboh dari orang-orang
kafir dan munafik.
Perang
itu sebenarnya fardu kifayah, yang apabila telah dilaksanakan oleh
sebagian maka gugurlah yang lain, bukan fardu ain, yang wajib
dilaksanakan setiap orang. Perang barulah menjadi wajib, apabila Rosul Saw
sendiri keluar dan mengerahkan kaum mu’min menuju medan perang. Bahkan ayat ini
menyebutkan kewajiban mencari ilmu dan mengajarkannya, “Mengapa tidak pergi
dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.”
Mengapa
tidak segolongan saja, atau sekelompok kecil saja yang berangkat kemedan tempur
dari tiap-tiap golongan besar kaum mu’min, seperti penduduk suatu negeri atau
suku, dengan maksud supaya orang mukmin seluruhnya dapat mendalami agama
mereka. Yaitu dengan cara orang yang tidak berangkat dan tinggal dikota
(Madinah), berusaha keras untuk memahami agama, yang wahyu-Nya turun kepada
Rosululloh Saw yang menerangkan ayat-ayat tersebut, baik dengan perkataan atau
perbuatan. Dengan demikian maka diketahui hukum beserta hikmahnya, dan
menjadi jelas yang masih mujmal dengan adanya perbuatan Nabi tersebut.
Disamping itu orang yang mendalami agama memberi peringatan kepada kaumnya yang
pergi perang menghadapi musuh, apabila mereka telah kembali kedalam kota. Artinya,
agar tujuan utama dari orang-orang yang mendalami agama itu karena ingin membimbing
kaumnya, mengajari mereka dan memberi peringatan kepada mereka tentang akibat
kebodohan dan tidak mengamalkan apa yang mereka ketahui, dengan harapan supaya
mereka takut kepada Alloh SWT dan berhati-hati terhadap akibat kemaksiatan,
disamping agar seluruh kaum mukminin mengetahui agama mereka, mampu menyebarkan
pada seluruh umat manusia. Jadi bukan bertujuan supaya memperoleh kepemimpinan
dan kedudukan yang tinggi serta mengungguli kebanyakan orang-orang lain, atau
bertujuan memperoleh harta dan meniru orang dzalim dan para penindas dalam
berpakaian, berkendaraan maupun dalam persaingan diantara sesama mereka.
Ayat
tersebut merupakan isyarat tentang wajibnya pendalaman agama dan bersedia
mengajarkannya ditempat-tempat pemukiman serta memahamkan orang-orang lain
kepada agama, sebanyak yang dapat memperbaiki keadaan mereka. Sehingga mereka
tidak bodoh lagi tentang hukum-hukum agama secara umum yang wajib diketahui
oleh setiap mu’min.
D.
Nilai Tarbawi
Dari
penjelsan diatas dapat diambil nilai-nilai pendidikannya, yaitu:
1.
Kewajiban mendalami agama dan kesiapan untuk
mengajarkannya.
Maksudnya,
tidaklah patut bagi orang-orang mukmin, dan juga tidak dituntut supaya mereka
seluruhnya berangkat menyertai setiap utusan perang yang keluar menuju medan
perjuangan. Karena menuntut ilmu itu merupakan suatu kewajiban sehinnga
menuntut ilmu mempunyai derajat yang sangat tinggi. sehingga di sejajarkan
dengan orang yang perang dijalan Allah.
2.
Hasil dari pembelajaran itu tidak hanya untuk
dirinya sendiri tetapi diharapkan mampu untuk menyampaikan terhadap orang
lain.
E. Analisa
Tujuan pendidikan
menurut Francois Rabelais (1483-1553) adalah pembentukan manusia yang lengkap
dan cakap. Sedangkan menurut John Milton (inggris, 1608-1674) tujuan pendidikan
adalah persiapan untuk kehidupan sebenarnya di dunia nyata ini.
Kedua pernyataan
tersebut sesuai dengan QS. At- Taubah: 122 yang menerangkan bahwa, menuntut
ilmu merupakan suatau kewajiban untuk bekal di masa depan. Karena kita harus
mempersiapkan masa depan itu salah satunya dengan mempunyai ilmu yang luas.
Setelah mempunyai ilmu yang luas maka kita akan cakap dalam menyampaikannya
kepada orang lain.
F.
Kesimpulan
Ayat ini menerangkan kelengkapan dari hukum-hukum yang
menyangkut perjuangan, yaitu hukum mencari ilmu, mendalami agama dan
mengamalkannya.
Tujuan
utama dari orang-orang yang mendalami agama itu karena ingin membimbing
kaumnya, mengajari mereka dan memberi peringatan kepada mereka tentang akibat
kebodohan dan tidak mengamalkan apa yang mereka ketahui, dengan harapan supaya
mereka takut kepada Alloh SWT dan berhati-hati terhadap akibat kemaksiatan,
disamping agar seluruh kaum mukminin mengetahui agama mereka, mampu menyebarkan
pada seluruh umat manusia.
Pendalaman ilmu
agama itu merupakan cara berjuang dengan menggunakan hujjah dan penyampaian
bukti-bukti dan juga merupakan rukun terpenting dalam menyeru kepada iman dan
menegakan sendi-sendi Islam. Karena perjuangan yang menggunakan pedang itu
sendiri tidak di syari’atkan kecuali untuk jadi benteng dan pagar dari da’wah
tersebut agar jangan dipermainkan oleh tangan-tangan ceroboh dari orang-orang
kafir dan munafik.
2.2 QS. Adz-Dzariyat: 56
A.
Ayat dan
Terjemahan
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: “Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.” (Qs. Adz-Dzariyat: 56)
B.
Tafsir
mufradat
وَمَا :
dan tidaklah
خَلَقْتُ :
aku menciptakan
الْجِنَّ :
jin
وَالاِنسَ :
dan manusia
إِلا لِيَعْبُدُونِ : kecuali agar mereka beribadah
kepada-Ku
Illa liya’buduun : kecuali supaya aku perintahkan mereka
menyembah-Ku, bukan karena Aku butuh
kepada mereka. (al-Maragi, 1989: 16).
Shihab (2003:355), Ayat di atas menggunakan bentuk persona pertama
(Aku) setelah sebelumnya menggunakan persona ketiga (Dia/Allah).
Ini bukan saja bertujuan menekankan pesan yang dikandungnya tetapi juga untuk
mengisyaratkan bahwa perbuatan-perbuatan Allah melibatkan malaikat atau sebab-sebab
lainnya. Penciptaan, pengutusan Rasul, turunnya siksa, rezeki yang
dibagikan-Nya melibatkan malaikat dan sebab-sebab lainnya, sedang di sini
karena penekanannya adalah beribadah kepada-Nya semata-mata, maka redaksi yang
digunakan berbentuk tunggal dan tertuju kepada-Nya semata-mata tanpa memberi
kesan adanya keterlibatan selain Allah Swt.
C.
Tafsir
‘Am
Al-Maraghi
(1989: 20-21), ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menciptakan mereka (jin
dan manusia) kecuali supaya mereka menganal-Nya. Karena sekiranya Allah tidak
menciptakan mereka niscaya mereka takkan kenal dengan keberadaan Allah dan
keesaan Allah.
Segolongan
mufassir berpendapat bahwa arti ayat ini adalah: Kecuali supaya mereka tunduk
kepada-Ku dan merendahkan diri. Yakni, bahwa setiap makhluk dari jin dan
manusia tunduk kepada keputusan Allah, patuh kepada kehendak-Nya dan menuruti
apa yang telah Dia takdirkan atasnya. Kalimat ini merupakan penegas bagi
suruhan agar memberi peringatan, dan juga memuat alasan dari diperintahkannya
memberi peringatan. Karena, diciptakan mereka dengan alasan tersebut
menyebabkan mereka harus diberi peringatan yang menyebabkan mereka wajib ingat
dan menuruti nasihat.
Pengertian dalam ayat ini sama sekali tidak bertentangan dengan
kenyataan, bahwa orang-orang kafir tidak menyembah-Nya. Karena sesungguhnya
tujuan dari ayat ini tidaklah memastikan keberadaannya. Perihalnya sama saja
dengan pengertian yang terdapat di dalam perkataanmu, "Aku runcingkan pena
ini supaya aku dapat menulis dengannya." Dan kenyataannya terkadang kamu
tidak menggunakannya.
D.
Nilai
Tarbawi
Konteks
ibadah sangat luas cakupannya, seperti pernyataan Shihab
(2003:356), Ibadah terdiri dari ibadah murni (mahdhah) dan ibadah tidak
murni (ghairu mahdhah). Ibadah mahdhah adalah ibadah yang telah
ditentukan oleh Allah, bentuk, kadar, atau waktunya, seperti shalat, zakat,
puasa dan haji. Adapun Ibadah ghairumahdhah adalah segala aktivitas
lahir dan batin manusia yang dimaksudkannya untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Seperti halnya mengamalkan ilmu adalah tujuan
utama atau esensi dari sebuah pendidikan, dan mengamalkan ilmu itu merupakan
salah satu bentuk beribadah kepada Alloh Swt. “Ilmunya diamalkan, dan
amalnya dengan ilmu”. Demikian sebuah petuah dari Guru sekaitan dengan
tujuan daripada ilmu. Jadi puncak dari ilmu itu adalah amal. Amal semata-mata
untuk beribadah kepada Allah Swt. Namun demikian, Nabi Muhammad Saw pun
mengingatkan kita untuk tidak melupakan kehidupan di dunia.
E.
Analisa
Menurut Ahmad D Marimba, tujuan pendidikan
Islam adalah identik dengan tujuan hidup orang muslim. Tujuan hidup manusia menurut
Islam adalah untuk menjadi hamba Allah. Hal ini mengandung implikasi
kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya. (Ahmadi dan Uhbiyati, 2003: 99)
Adapun menurut Augustinus (354-430 SM)
menyatakan bahwa, tujuan pendidikan ialah cinta sepenuhnya kepada Tuhan agar
mendapat ketentraman di alam Baqa kelak. (Ahmadi dan Uhbiyati, 2003: 133)
Kedua
pernyataan tersebut sesuai dengan QS. Adz-Dzariat ayat 56 yang menjelaskan
bahwa tujuan hidup jin dan manusia adalah hanya beribadah kepada Allah.
Tentunya sebelum mereka menghambakan dirinya pada Allah, mereka harus mengalami
proses pendidikan sehingga akhir dari proses pendidikan itu adalah mencapai
tujuannya untuk menghambakan dirinya kepada Allah dan mengamalkan ilmunya
kepada yang lain sehingga mendapat ketentraman baik di dunia maupun di akhirat
kelak.
F.
Kesimpulan
Dari uraian dan
penjelasan di atas, pemakalah menyimpulkan :
1.
Tujuan
utama dalam pendidikan Islam adalah membentuk pribadi muslim yang sadar akan
tujuan asal mula penciptaannya, yaitu sebagai abid (hamba). Sehingga dalam
melaksanakan proses pendidikan, baik dari sisi pendidik atau anak didik, harus
didasari sebagai pengabdian kepada Allah SWT dan semata bertujuan memperoleh
ridho Allah SWT.
2.
Secara
umum tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang sehat jasmani dan
rohani serta moral yang tinggi, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat,
baik sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota masyarakat.
3.
Tujuan
akhir pendidikan adalah mengamalkan kepada yang lain.
2.3 Surat An-Nahl Ayat 90-91
A.
Ayat dan Terjemah
إِنَّ اللَّهَ يَاْمُرُ
بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَائِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ
الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَدَكَّرُوْنَ (٩٠)
وَاَوْفُوْا بِعَهْدِ اللَّهِ اِذَا عَاهَدْتُمْ وَلَاتَنْقُضُواالْاَيْمَانَ
بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيْلًاۗ
اِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَاتَفْعَلُوْنَ (٩١)
(90).
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia membeli pelajaran kepada kalian agar kalian
dapat mengambil pelajaran.”
(91). “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kalian
berjanji, dan janganlah kalian membatalkan sumpah-sumpah (kalian) itu sesudah
meneguhkannya, sedang kalian telah menjadikan Allah sebagai saksi kalian
(terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kalian
perbuat.”
B. Tafsir Mufradat
اَلْعَدْلُ: Secara bahasa berarti persamaan dalam segala
perkara, tidak lebih dan tidak kurang. Disini dimaksudkan kesetimpalan dalam
kebaikan dan keburukan.
اَلْاِحْسَانُ : Membalas kebaikan dengan yang lebih banyak
dari padanya, dan membalas kejahatan dengan memberi maaf.
اِيْتَاءُذِى الْقُرْبٰى: Memberikan kepada kaum kerabat hak mereka
berupa silaturahim dan kebajikan.
اَلْفَحْشَاءُ: Perkataan dan perbuatan yang buruk, termasuk
didalamnya perbuatan zina, minum khamar, rakus, tamak, mencuri dan perkataan
serta perbuatan lain yang tercela.
اَلْمُنْكَرُ: Apa yang diingkari oleh akal, berupa
dorongan-dorongan kekuatan emosional, seperti memukul dengan keras, membunuh
dan menganiaya manusia.
اَلْبَغْيُ:Menyombongkan diri kepada manusia dengan
melakukan kezaliman dan permusuhan.
اَلْوَعْظُ: Pengingatan akan kebaikan dengan memberikan
nasehat dan petunjuk.
اَلْعَهْدُ: Segala perkara yang secara tetap dilakukan
oleh manusia dengan kemauannya sendiri, termasuk didalamnya perjanjian.
نَقْضُ الْيَمِيْنِ: Melanggar sumpah. Asalnya memisahkan
sebagian anggota tubuh dari sebagian lainnya.
تَوْكِيْدُهَا: Menguatkannya.
كَفِيْلًا: Saksi dan pengawas. (Almaraghi, 1992 :
233-235)
C. Tafsir ‘Am
Dalam
ayat-ayat sebelumnya, secara jelas Allah telah menyampaikan janji-Nya bagi
orang-orang yang bertakwa dan ancaman-Nya kepada orang-orang yang kafir. Berulang-ulang
Allah memberikan kabar gembira dan peringatan, hingga sampai kepada puncaknya.
Dalam ayat-ayat ini, Allah menyampaikan perintah-perintah ini, yang mencakup
akhlak dan adab yang utama. (Almaraghi, 1992 :235)
Al-Bukhari,
Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, At-Tabrani, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi meriwayatkan
dari Ibnu Mas’ud ra bahwa ayat yang paling mencakup tentang kebaikan dan
keburukan didalam Kitab Allah adalah :
إِنَّ اللَّهَ يَاْمُرُ
بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ
“sesungguhnyaAllah menyuruh (kalian) berlaku adil dan berbuat
kebajikan.”.
Menurut
Al-Baihaqi dalam kitab Syu’bul Iman, dari Hasan ra, bahwa dia membaca ayat ini :
إِنَّ اللَّهَ يَاْمُرُ
بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ
kemudian dia berkata “Sesungguhnya Allah telah menyatukan seluruh
kebaikan dan keburukan bagi kalian didalam satu ayat. Demi Allah tidak
sedikitpun keadilan dan kebajikan ditinggalkan dari ketaatan kepada Allah,
kecuali Dia menyatukan dan menyuruh melakukannya. Tidak pula sedikitpun dari
kekejian, kemungkaran dan permusuhan ditinggalkan dari kedurhakaan kepada
Allah, kecuali dia menyatukan dan melarangnya.”
Dalam kitab
Al-Hafidz Abu Ya’la disebutkan bahwa telah sampai berita kepada Aksam bin Saifi
mengenai asal-usul Nabi Saw. Kemudian Aksam bermaksud mendatangi beliau, tetapi
kaumnya tidak rela membiarkan dia meluluskan maksudnya. Mereka berkata, “Engkau
adalah pembesar kami. Tidak selayaknya engkau merendahkan diri kepadanya.”
Aksam berkata, “Kalau begitu hendaknya ada utusan yang datang kepadanya, seorang
menyampaikan berita kepadanya tentang diriku, dan seorang lagi menyampaikan
berita kepadaku tentang dirinya.” Maka terpilih dua orang untuk datang kepada
Nabi Saw. Mereka berkata, “Kami adalah utusan Aksam bin Saifi. Dia menanyakan
siapa dan apa anda? Nabi Saw menjwab, “Mengenai siapa aku, aku adalah Muhammad
bin Abdullah, adapun mengenai apa aku, aku adalah hamba dan rasul Allah.”
Kemudia beliau membacakan :
إِنَّ اللَّهَ يَاْمُرُ
بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ
“sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil dan berbuat
kebajikan.” (An-Nahl, 16 : 90).
Mereka berkata,
“Ulangi lagi bacaan itu kepada kami.” Beliau membacanya kembali kepada mereka,
sehingga mereka hafal. Setelah kembali kepada Aksam, mereka berkata kepadanya,
“Dia enggan meninggi-ninggikan keturunannya. Tetapi kami mendapatinya seorang
yang berketurunan suci dan pertengahan di dalam kabilah Muhdar. Dia
menyampaikannya kepada kami kalimat-kalimat yang sungguh kami telah
mendengarnya. Setelah mendengar kalimat-kalimat tersebut Aksam berkata, “Saya
berpendapat bahwa dia menyuruh melakukan akhlak mulia dan melarang melakukan
akhlak tercela. Oleh sebab itu hendaklah kalian menjadi pelopor dalam perkara
ini, dan jangan menjadi ekor; jadilah orang-orang pertama dalam perkara ini,
dan janganlah menjadi orang-orang terakhir.” (Almaraghi, 1992 : 237)
Sa’id bin
Jubair meriwayatkan dari Qatadah tentang riwayat ini bahwa tidak ada satu
ayatpun yang dipandang baik oleh orang jahiliyyah, kecuali allah menyuruh
melakukannya dan tidak ada satupun akhlak buruk kecuali Allah melarangnya,
sesungguhnya akhlak yang dilarang Allah adalah akhlak tercela.(Almaraghi, 1992
: 237)
Ibnu Abi Hatim
meriwayatkan bahwa yang dimaksud adil di sini adalah menjadi bapak untuk anak
kecil, anak untuk orang tua, saudara untuk yang sebaya, juga menjatuhkan
hukuman sesuai dengan kesalahannya, dan jangan memukul ketika marah.
(Almaraghi, 1992 : 239)
Sedangkan ihsan
adalah berbuat baik tehadap orang yang berbuat buruk kepada kita, dalam
shahihaini diriwayatkan dari Hadits ibnu Umar ihsan adalah “ihsan adalah
kamu beribadah kepada Allah seakan kamu melihat-Nya, dan sekiranya kamu tidak
melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. (Almaraghi, 1992 : 239)
Kemudian Allah
juga memerintahkan tiga perkara yang yang dilarang-Nya yaitu melarang untuk
mengikuti kekuatan syahwat dan keburukan yang lahir dari kemarahan, juga dzalim
terhadap manusia.
Setelah
menyajikan perintah dan larangan secara garis besar didalam ayat pertama,
kemudian Allah menyajikan kembali secara khusus.
Pada ayat
selanjutnya Allah memerintahkan untuk memenuhi janji, karena sesungguhnya
setiap perjanjian yang dibuat baik itu kepada kaum muslim atau kafir adalah
janji itu hanya kepunyaan Allah SWT, dan Allah menjelaskan balasan bagi orang
yang melanggar janji itu yaitu adzab yang sangat pedih. (Almaraghi, 1992 : 241)
D. Analisa
John Dewey (AS,
1859-1952) menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mendidik anak menjadi
warga negara yang baik. (Ahmadi dan Uhbiyati, 2003:134).
Pernyataan tersebut
sesuai dengan surat an-Nahl ayat 90-91 bahwa tujuan dari pendidkan yaitu akhlak
yang baik. Karena salah satu aspek dari tujuan pendidikan yaitu menjadi warga
negara yang baik, dan untuk mencapainya itu harus mempunyai akhlak yang baik, dan
salah satu akhlak yang baik itu diantaranya adil dan ihsan. Salah satu cara
memperkenalkan akhlak yang baik kepada anak yaitu dengan pemenuhan janji.
E. Nilai Tarbawi
Nilai tarbawi
yang dapat diambil dari ayat tersebut yang berkenaan dengan tujuan pendidikan adalah:
1.
Tujuan
dari pendidikan adalah menyuruh melakukan akhlak mulia dan melarang melakukan
akhlak tercela. Misalnya berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk kepada
kita, berbuat adil dan bersilaturahim termasuk perbuatan yang baik, menepati janji.
2.
Berlaku
ihsan.
3.
Menjatuhkan
hukuman sesuai dengan kesalahannya.
F.
Kesimpulan
Sesungguhnya
Allah memerintah berlaku adil, yaitu melaksanakan kebaikan sekedar memenuhi
kewajiban. Berbuat ihsan, yaitu menanamkan ketaatan dan pengagungan perintah
Allah, dan mengasihi makhluk-Nya diantaranya yang paling mulia ialah mengadakan
silaturahim.
Allah
memerintahkan untuk memenuhi janji, karena sesungguhnya setiap perjanjian yang
dibuat baik itu kepada kaum muslim atau kafir adalah janji itu hanya kepunyaan
Allah SWT, dan Allah menjelaskan balasan bagi orang yang melanggar janji itu
yaitu adzab yang sangat pedih.
2.4
Surat Saba’ Ayat 28
A.
Ayat dan Terjemah
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ
إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ
يَعْلَمُونَ (٢٨)
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan
kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai
pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”.
B.
Tafsir Mufrodat
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ : dan tidak Kami mengutus kamu
إِلاَّ : melainkan
كَافَّةً : seluruh
لِلنَّاسِ : untuk manusia
بَشِيرًا : pembawa kabar gembira
وَنَذِيرًا : dan pemberi
peringatan
وَلَكِنَّ : tetapi
أَكْثَرَ : kebanyakan
النَّاسِ :manusia
لاَ يَعْلَمُونَ : mereka tidak mengetahui
Kata (كافّة) kaaffah, menurut
Thabaathabaa’i dan beberapa ulama lain, terambil dari kata (كفّ) kaffa yang berarti menghalangi.
Atas dasar itu, mereka memahami penggalan ayat di atas bermakna : Kami
tidak mengutusmu kecuali berfungsi sebagai penghalang yang sangat unggul
terhadap manusia agar mereka tidak melakukan aneka kedurhakaan. Ini dikuatkan
oleh kalimat sesudahnya yaitu basyiiran wa nadzriian. Banyak ulama
memahami kata kaaffah dalam arti semua
dan ia pada ayat ini berfungsi menjelaskan keadaan an-naasl manusia. Dengan
demikian, ayat ini menganugerahkan risalah Nabi Muhammad SAW yang mencakup
semua manusia. Ayat ini, menurut mereka, berarti Kami tidak mengutusmu kecuali
pengutusan untuk seluruh manusia. Pendapat ini sejalan dengan fungsi Nabi
Muhammad SAW yang diutus membawa rahmat bagi seluruh alam.
C.
Tafsir ‘Am
Ayat ini pun dipahami oleh
Thabaathabaa’i sebagai mengandung argumentasi tentang keesaan Allah SWT. Ulama
ini menulis bahwa: “Risalah atau pengutusan para Nabi merupakan salah satu
keniscayaan keesaan Allah SWT karena Tuhan selalu memerhatikan dan mengurus
hamba-hamba-Nya serta mengantar mereka menuju kebahagiaan. Keumuman risalah
Nabi Muhammad SAW dimana beliau merupakan utusan Allah SWT bukan utusan
selain-Nya membuktikan bahwa Tuhan tidak lain kecuali Allah SWT. Seandainya ada
tuhan lain, tentu yang lain pun akan mengutus utusannya kepada sebagian
masyarakat umat manusia, dan dengan demikian, risalah Nabi Muhammad SAW tidak
mencakup seluruh manusia . Tetapi ternyata, tidak ada seorang pun yang mengaku
utusan tuhan “yang lain” itu. Dalam konteks ini, Sayyidinaa Ali r.a berkata:
“Seandainya Tuhanmu memiliki sekutu pastilah Rasul ‘sekutu-Nya’ itu datang juga
menemui Anda.” Selanjutnya, Thabaathabaa’i memahami firman-Nya: Tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui dalam arti kebanyakan manusia tidak
megetahui bahwa keterbatasan sumber pengutusan rasul-rasul hanya dari Allah SWT
merupakan bukti keterbatasan ketuhanan hanya pada Allah SWT semata-mata. (Shihab,
volume 11, 2009: 621-622).
Pada
ayat ke-28 ini dijelaskan pula bahwa Allah SWT menerangkan bahwa Nabi Muhammad
SAW bukan saja sebagai utusan kepada seluruh manusia, tetapi beliau juga
bertugas sebagai pembawa berita gembira bagi orang-orang yang mempercayai dan
mengamalkan risalah yang dibawanya itu dan sebagai pembawa peringatan kepada
orang-orang yang mengingkarinya atau menolak ajaran-ajarannya.
Nabi
Muhammad SAW adalah Nabi penutup, tidak adalagi Nabi dan Rasul yang diutus oleh
Allah SWT setelahnya. Dengandemikian, pastilah risalah yang dibawanya itu berlaku
untuk seluruh manusia sampai hari kiamat. Dan karena risalahnya itu adalah risalah
yang terakhir, maka didalam risalahnya tercapailah peraturan-peraturan dan syariat
hukum-hukum yang layak dan baik untuk dijalankan disetiap tempat dan disetiap masa,
karena risalah yang dibawanya itu bersumber dari Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha
Mengetahui. Dialah yang menciptakan langit dan bumi dan segala apa yang ada pada
keduanya. Dialah yang mengatur semuanya itu dengan peraturan yang amat teliti sehingga
semuanya berjalan dengan baik dan harmonis. Allah SWT yang demikian besar kekuasaan-Nya
tidak mungkin akan menurunkan suatu risalah yang mencakup seluruh umat manusia jika
peraturan-peraturan dan syariat itu tidak mencakup seluruh kepentingan manusia pada
setiap masa.
Dengan
demikian pastilah risalahnya itu risalah yang baik untuk diterapkan kepada semua
umat didunia ini. Hal ini tidak diketahui oleh semua orang bahkan kebanyakan manusia
menolak dan menantangnya.
Setelah membuktikan keesaan Allah
dan menampik sembahan-sembahan dan kepercayaan kaum musyrikin, ayat di atas
beralih guna membicarakan kenabian Nabi Muhammad SAW dengan menyatakan bahwa
Allah Yang Maha Esa dan Kuasa itu telah mengutus Rasu-Nya dengan membawa bukti
kebenaran, yaitu Al Quran. Kemudian Allah SWT mengarahkan firman-Nya kepada
Nabi Muhammad SAW dengan menyatakan bahwa: Dengan sebagaimana Kami telah
menganugerahkan keutaman kepada Daud (ayat 10) Kami pun mengutusmu,
melainkan menyeluruh kepada umat manusia sebagai pembawa berita gembira bagi
mereka yang melaksanakan ajaran yang engkau sampaikan dan pemberi peringatan
bagi yang enggan mempercayaimu, tetapi kebanyakan manusia tiada
mengetahui bahwa enngkau adalah Rasul-Nya lebih-lebih lagi bahwa engkau
Kami utus untuk seluruh manusia kapan dan dimana pun.
Ayat di atas tidak lagi menggunakan
bentuk perintah untuk menyampaikan fungsi Nabi Muhammad SAW sebagaimana bentuk
perintah pada ayat-ayat yang lalu. Ini agaknya untuk mengingatkan seluruh
manusia betapa tinggi kedudukan Rasul SAW di sisi Allah SWT, dan begitu pula
betapa tinggi kedudukan ilmu.
D.
Nilai Tarbawi
Nilai tarbawi yang dapat di ambil
dari surat Saba’ ayat 29 adalah:
1.
Bahwa
Allah mengutus Rasululloh supaya memerhatikan dan mengurus umatnya serta
mengantar mereka menuju kebahagian. Bergitupun dengan tujuan seorang pendidik
adalah Memerhatikan dan mengurus peserta didiknya serta mengantar mereka menuju
kebahagian di masa depan kelak.
2.
Ilmu merupakan berita gembira bagi orang-orang
yang mempercayai dan mengamalkan risalah yang dibawanya itu dan sebagai pembawa
peringatan kepada orang-orang yang mengingkarinya atau menolak
ajaran-ajarannya.
3.
Peraturan-peraturan dan syariat hukum-hukum Islam
merupakan peraturan dan hukum yang layak dan baik untuk dijalankan disetiap
tempat dan disetiap masa.
4.
Seorang
pendidik hendaknya mengaitkan dalam setiap pembelajarannya betapa tinggi
kedudukan Rasul Saw. di sisi Allah Swt. dan begitu pula betapa tinggi kedudukan
ilmu.
E.
Analisa
Menurut John Dewey (AS, 1859-1952)
menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk anak menjadi warganegara
yang baik. (Ahmadi dan Uhbiyati, 2003:134). Pernyataan John Dewey ini sesuai
dengan ayat diatas bahwa seorang pendidik harus memberi pengajaran dan
peringatan kepada peserta didiknya yang masih belum paham, baik berupa ilmu maupun
peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang ada di negara juga hukum-hukum dan
peraturan-peraturan yang di syari’atkan oleh Islam supaya menghantarkan peserta
didik menjadi warga negara yang baik dan bahagia kelak di masa depannya.
F.
Kesimpulan
Dari penjelasan QS. Saba ayat 28 dapat
disimpulkan bahwa Allah mengutus Nabi Muhammad Saw adalah untuk menyampaikan
kabar gembira dengan membawa risalah dan peraturan-peraturan serta hukum-hukum
yang dapat menjadikan hidup manusia nyaman dan bahagia dunia juga akhirat. Selain
itu, bahwa di jelaskan begitu tingginya kedudukan ilmu.
Begitu juga tujuan akhir pendidikan adalah supaya menjadi manusia
yang utuh, yang bahagia di dunia juga di akhirat.
2.5 Surat
Shaad Ayat 29
A.
Ayat dan Terjemah
كِتَابٌ
أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو
الألْبَابِ (٢٩)
Artinya: “Ini
adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang
yang mempunyai pikiran”.
B.
Tafsir Mufrodat
كِتَابٌ : Kitab
أَنْزَلْنَاهُ : Kami turunkannya
إِلَيْكَ : kepadamu
مُبَارَكٌ : penuh keberkatan
لِيَدَّبَّرُوا : supaya merekamemperhatikan
آيَاتِهِ : ayat-ayatnya
وَلِيَتَذَكَّرَ : dan supaya mendapat pelajaran
أُولُو : orang-orang yang mempunyai
الألْبَابِ : hati/pikiran
Kata (الالباب) al-albaab adalah bentuk
jamak dari (لبّ) lubb, yaitu sari
pati sesuatu. Ulul Albaab adalah orang-orang yang memiliki akal yang
murni yang tidak diselubungi oleh “kulit”, yakni kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan
dalam berfikir. Yang merenungkan ayat-ayat Allah dan melaksanakannya
diharapkan dapat terhindar dari siksa, sedang yang menolaknya pasti ada
kerancuan dalam cara berfikirnya.
Kata (مبارك) mubaarakun terambil dari
kata (بركة) barkah yeng bermakna sesuatu
yang mantap juga berarti kebajikan yang melimpahdan beraneka ragam serta
bersinambung. Demikian ar-Raaghib Al-Asfahaani.
C.
Tafsir ‘Am
Allah SWT tak pernah menciptakan
makhluk dengan sia-sia. Akan tetapi menciptakan mereka untuk beribadah dan
mengesakan Allah, kemudian akan menghimpun mereka pada hari penghimpunan, lalu
memberi pahala kepada orang-orang yang taat dan mengadzab orang-orang yang
kafir. Kemudian, dilanjutkan dengan menerangkan keutamaan Al Quran yang telah
Dia turunkan kepada rasul-Nya, sebagai pemberi petunjuk kepada umat manusia dan
yang menyelamatkan mereka dari kesesatan menuju petunjuk. Apabila mereka
memikirkan ayat-ayat-Nya dan menuruti nasehat-nasehat-Nya, maka mereka akan
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat, dan dapat mencapai kedudukan
orang-orang yang bahagia dan menjadi tuan dari seluruh alam.
Kemudian Allah
SWT menjelaskan bahwa Dia telah menurunkan Al Quran kepada Rasulullah dan
pengikut-pengikutnya. Al Quran itu adalah kitab yang sempurna mengandung bimbingan
yang sangat bermanfaat kepada umat manusia. Bimbingan itu menuntun agar hidup sejahtera
di dunia dan berbahagia di akhirat. Dengan merenungkan isinya, manusia akan menemukan
cara-cara mengatur kemaslahatan hidup di dunia. Tamsil ibarat dan kisah dari umat
terdahulu menjadi pelajaran dalam menempuh tujuan hidup mereka dan menjauhi rintangan
dan hambatan yang menghalangi. Al Quran itu diturunkan dengan maksud agar
direnungkan kandungan isinya, kemudian dipahami dengan pengertian yang benar,
lalu diamalkan sebagaimana mestinya. Pengertian yang benar diperoleh dengan jalan
mengikuti petunjuk-petunjuk Rasul, dengan dibantu oleh Ilmu Pengetahuan yang
dimiliki, baik yang berhubungan dengan bahasa ataupun yang berhubungan dengan perkembangan
kemasyarakatan. Begitu pula dalam mendalami petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam
kitab itu, hendaknya dilandasi tuntunan Rasul serta berusaha untuk menyemarakkan
pengalamannya dengan ilmu pengetahuan hasil pengalaman dan pemikiran mereka.
Menurut
Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Majid ‘Irsanal Kaylani, tujuan pendidikan
Islam tertumpu pada empat aspek, yaitu:
1.
Tercapainya pendidikan tauhid dengan cara
mempelajari ayat Allah SWT, dalam wahyu-Nya dan ayat-ayat fisik (afaq)
dan psikis (anfus);
2.
Mengetahui ilmu Allah SWT. Melalui pemahaman
terhadap kebenaran mahluk-Nya;
3.
Mengetahui kekuatan (qudrah) Allah
melalui pemahaman jenis-jenis, kauntitas, dan kreatifitas mahluk-Nya; dan
4.
Mengetahuiapa yang
diperbuat Allah SWT. (Sunnah Allah) tentangr ealitas (alam) dan jenis-jenis perilakunya.
D.
Nilai Tarbawi
Dari penjelasan di atas dapat diambil bahwa
nilai tarbawi dari QS. Shad ayat 29 adalah:
1.
Allah
menciptakan manusia untuk beribadah dan mengesakan Allah. Jadi setelah manusia
mendapatkan ilmu yang cukup, maka sudah seharusnya mengamalkan kepada yang lain
sebagai bentuk ibadah kepada allah.
2.
Al
Quran yang telah Dia turunkan kepada rasul-Nya, sebagai pemberi petunjuk kepada
umat manusia dan yang menyelamatkan mereka dari kesesatan menuju petunjuk.
Begitu pula dengan seorang pendidik, pendidik harus memberi pengajaran terhadap
peserta didiknya supaya mereka tidak sesat.
3.
Memikirkan
ayat-ayat-Nya dan menuruti nasehat-nasehat-Nya. Apabila dikaitkan dengan
pendidikan artinya peserta didik harus mengulang-ngulang pembelajaran dan
menuruti nasihat yang diberikan oleh pendidik.
4.
Tujuan
akhir dari pendidikan itu adalah menuntun agar hidup sejahtera di dunia dan berbahagia
di akhirat.
5.
Setelah
menerima pembelajaran/pendidikan maka direnungkan kandungan yang telah
disampaikan oleh pendidik, kemudian dipahami dengan pengertian yang benar, lalu
diamalkan sebagaimana mestinya.
E.
Analisa
Menurut
Socrates (469-399 SM) menyatakan bahwa tujuan pendidikan ialah mengembangkan
daya pikir sehingga memungkinkan orang mengerti pokok-pokok kesusilaan. (Ahmadi
dan Uhbiyati, 2003: 133). Pernyataan ini sesuai dengan QS. Shaad ayat 29
bahwasannya pendidikan itu dimulai berpikir rasional disertai akal dan melalui
pembelajaran kemudian direnungkan hasil pembelajaran tersebut lalu dipahami dan
diamalkan sebagai mestinya sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Setelah semua
dilaksanakan maka kita akan paham bagaimana tujuan pendidikan itu.
F.
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan
menurut QS. Shaad ayat 29 adalah:
1.
Mengembangkan
pemikiran dan akal supaya bisa memahami ilmu.
2.
Pendidikan
diawali dengan pembelajaran kemudian menelaah/memahaminya, setelah paham maka
diamalkan sebagai bentuk ibadah kepada allah.
3.
Tujuan
akhir dari pendidikan adalah berserah diri kepada Allah supaya bahagia dunia
dan akhirat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pemaparan
diatas pemakalah menyimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan menurut QS.
At-Taubah: 122, Adz-Dzariyat: 56, an-Nahl 90 dan 91, Saba: 28 dan Shad: 29 adalah:
1.
Tujuan utama dari pendidikan adalah membimbing,
mengajarkan dan memberi nasihat kepada peserta didik tentang akibat kebodohan
dan tidak mengamalkan apa yang mereka ketahui, dengan harapan supaya mereka
takut kepada Alloh SWT dan berhati-hati terhadap akibat kemaksiatan, dan mampu
menyebarkan pada orang lain.
2.
Tujuan
utama dalam pendidikan Islam adalah membentuk pribadi muslim yang sadar akan
tujuan asal mula penciptaannya, yaitu sebagai abid (hamba). Sehingga dalam
melaksanakan proses pendidikan, baik dari sisi pendidik atau anak didik, harus
didasari sebagai pengabdian kepada Allah SWT dan semata bertujuan memperoleh
ridho Allah SWT.
3.
Secara
umum tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang sehat jasmani dan
rohani serta moral yang tinggi, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat,
baik sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota masyarakat.
4.
Tujuan
dari pendidikan adalah menyuruh melakukan akhlak mulia dan melarang melakukan
akhlak tercela. Misalnya berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk kepada
kita, berbuat adil dan bersilaturahim dan menepati janji.
5.
Berlaku
ihsan.
6.
Menjatuhkan
hukuman sesuai dengan kesalahannya dan peraturan yang ada.
7.
Mengantar
peserta didik menuju kebahagian di masa depan kelak.
8.
Ilmu merupakan berita gembira.
9.
Menerapkan peraturan-peraturan dan syariat
hukum-hukum Islam merupakan peraturan dan hukum yang layak dan baik untuk
dijalankan disetiap tempat dan disetiap masa.
10. Seorang pendidik hendaknya mengaitkan dalam setiap pembelajarannya
betapa tinggi kedudukan Rasul Saw. di sisi Allah Swt. dan begitu pula betapa
tinggi kedudukan ilmu.
11. Tujuan akhir dari pendidikan itu adalah menuntun agar hidup sejahtera
di dunia dan berbahagia di akhirat.
12. Setelah menerima pembelajaran/pendidikan maka direnungkan kandungan
yang telah disampaikan oleh pendidik, kemudian dipahami dengan pengertian yang
benar, lalu diamalkan sebagaimana mestinya.
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M.
Quraish. 2003. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an.
Jakarta: Lentera.
Al Marafagi,
Ahmad Mustafa. 1989. Tafsir Al-Maragi. Semarang: CV Toha Putra Semarang.
Al Marafagi,
Ahmad Mustafa. 1992. Tafsir Al-Maragi. Semarang: CV Toha Putra Semarang.
Al Marafagi,
Ahmad Mustafa. 1993. Tafsir Al-Maragi. Semarang: CV Toha Putra Semarang.
kitab
‘inaayatan. jilid vii. penerbit: yayasan pembinaan masyarakat islam. cetakan
pertama 1400H/1980M.
Tafsir Al Misbah,
volume 11, M. Quraish Shihab. halaman 621-622- 2009 cetakanke-2. Penerbit.
Lentera hati.
Ahmadi, Abu. 2003. Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Terima kasih atas artikelnya izinkan saya mengutip dari sebagian artikelnya
AntwoordVee uit