Saterdag 08 Maart 2014

tafsir tarbawi QS at-Taubah: 122, Adz-Dzariyat:56, an-Nahl:90 dan 91, saba:28 dan shaad: 29 (tujuan pendidikan)



BAB II
PEMBAHASAN
2.1  QS. At-Taubah: 122
A.    Ayat dan terjemahan
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
     Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (Q.S. At-Taubah: 122)
B.     Tafsir Mufradat
نفرNafara            : berangkat perang
لولا  – Laula                        : Kata-kata yang berarti anjuran dan dorongan melakukan sesuatu yang disebutkan sesudah kata-kata tersebut, apabila itu terjadi dimasa yang akan datang. Tapi “Laula” juga berarti kecemasan atas meninggalkan perbuatan yang disebutkan sesudah kata itu, apabila merupakan hal yang telah lewat. Apabila hal yang dimaksud merupakan perkara yang mungkin dialami, maka bisa juga ”Laula”, itu berarti perintah mengerjakannya.
الفرقة  - Al- Firqah   : kelompok besar
الطائفةAt- Ta’ifah : kelompok kecil
تفقهTafaqqaha: berusaha keras untuk mendalami dan memahami suatu perkara dengan susah payah untuk memperolehnya.
انذرهAnzarahu      : menakut-nakuti dia.
حذرهHazirahu      : berhati-hati terhadapnya. (al Maragi, 1992: 84)
C.    Tafsir ‘Am
Ayat ini menerangkan kelengkapan dari hukum-hukum yang menyangkut perjuangan. Yakni, hukum mencari ilmu dan mendalami agama. Artinya, bahwa pendalaman ilmu agama itu merupakan cara berjuang dengan menggunakan hujjah dan penyampaian bukti-bukti dan juga merupakan rukun terpenting dalam menyeru kepada Allah SWT dan menegakkan sendi-sendi Islam. Karena perjuangan yang menggunakan pedang itu sendiri tidak disyariatkan kecuali untuk jadi benteng dan pagar dari dakwah tersebut, agar jangan dipermainkan oleh tangan-tangan ceroboh dari orang-orang kafir dan munafik.
Perang itu sebenarnya fardu kifayah, yang apabila telah dilaksanakan oleh sebagian maka gugurlah yang lain, bukan fardu ain, yang wajib dilaksanakan setiap orang. Perang barulah menjadi wajib, apabila Rosul Saw sendiri keluar dan mengerahkan kaum mu’min menuju medan perang. Bahkan ayat ini menyebutkan kewajiban mencari ilmu dan mengajarkannya, “Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Mengapa tidak segolongan saja, atau sekelompok kecil saja yang berangkat kemedan tempur dari tiap-tiap golongan besar kaum mu’min, seperti penduduk suatu negeri atau suku, dengan maksud supaya orang mukmin seluruhnya dapat mendalami agama mereka. Yaitu dengan cara orang yang tidak berangkat dan tinggal dikota (Madinah), berusaha keras untuk memahami agama, yang wahyu-Nya turun kepada Rosululloh Saw yang menerangkan ayat-ayat tersebut, baik dengan perkataan atau perbuatan. Dengan  demikian maka diketahui hukum beserta hikmahnya, dan menjadi jelas yang masih mujmal dengan adanya perbuatan Nabi tersebut. Disamping itu orang yang mendalami agama memberi peringatan kepada kaumnya yang pergi perang menghadapi musuh, apabila mereka telah kembali kedalam kota. Artinya, agar tujuan utama dari orang-orang yang mendalami agama itu karena ingin membimbing kaumnya, mengajari mereka dan memberi peringatan kepada mereka tentang akibat kebodohan dan tidak mengamalkan apa yang mereka ketahui, dengan harapan supaya mereka takut kepada Alloh SWT dan berhati-hati terhadap akibat kemaksiatan, disamping agar seluruh kaum mukminin mengetahui agama mereka, mampu menyebarkan pada seluruh umat manusia. Jadi bukan bertujuan supaya memperoleh kepemimpinan dan kedudukan yang tinggi serta mengungguli kebanyakan orang-orang lain, atau bertujuan memperoleh harta dan meniru orang dzalim dan para penindas dalam berpakaian, berkendaraan maupun dalam persaingan diantara sesama mereka.
Ayat tersebut merupakan isyarat tentang wajibnya pendalaman agama dan bersedia mengajarkannya ditempat-tempat pemukiman serta memahamkan orang-orang lain kepada agama, sebanyak yang dapat memperbaiki keadaan mereka. Sehingga mereka tidak bodoh lagi tentang hukum-hukum agama secara umum yang wajib diketahui oleh setiap mu’min.
D.    Nilai Tarbawi
Dari penjelsan diatas dapat diambil nilai-nilai pendidikannya, yaitu:
1.      Kewajiban mendalami agama dan kesiapan untuk mengajarkannya.
Maksudnya, tidaklah patut bagi orang-orang mukmin, dan juga tidak dituntut supaya mereka seluruhnya berangkat menyertai setiap utusan perang yang keluar menuju medan perjuangan. Karena menuntut ilmu itu merupakan suatu kewajiban sehinnga menuntut ilmu mempunyai derajat yang sangat tinggi. sehingga di sejajarkan dengan orang yang perang dijalan Allah.
2.      Hasil dari pembelajaran itu tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi diharapkan mampu untuk menyampaikan terhadap orang lain. 



E.     Analisa
Tujuan pendidikan menurut Francois Rabelais (1483-1553) adalah pembentukan manusia yang lengkap dan cakap. Sedangkan menurut John Milton (inggris, 1608-1674) tujuan pendidikan adalah persiapan untuk kehidupan sebenarnya di dunia nyata ini.
Kedua pernyataan tersebut sesuai dengan QS. At- Taubah: 122 yang menerangkan bahwa, menuntut ilmu merupakan suatau kewajiban untuk bekal di masa depan. Karena kita harus mempersiapkan masa depan itu salah satunya dengan mempunyai ilmu yang luas. Setelah mempunyai ilmu yang luas maka kita akan cakap dalam menyampaikannya kepada orang lain.
F.     Kesimpulan
Ayat ini menerangkan kelengkapan dari hukum-hukum yang menyangkut perjuangan, yaitu hukum mencari ilmu, mendalami agama dan mengamalkannya.
Tujuan utama dari orang-orang yang mendalami agama itu karena ingin membimbing kaumnya, mengajari mereka dan memberi peringatan kepada mereka tentang akibat kebodohan dan tidak mengamalkan apa yang mereka ketahui, dengan harapan supaya mereka takut kepada Alloh SWT dan berhati-hati terhadap akibat kemaksiatan, disamping agar seluruh kaum mukminin mengetahui agama mereka, mampu menyebarkan pada seluruh umat manusia.
 Pendalaman ilmu agama itu merupakan cara berjuang dengan menggunakan hujjah dan penyampaian bukti-bukti dan juga merupakan rukun terpenting dalam menyeru kepada iman dan menegakan sendi-sendi Islam. Karena perjuangan yang menggunakan pedang itu sendiri tidak di syari’atkan kecuali untuk jadi benteng dan pagar dari da’wah tersebut agar jangan dipermainkan oleh tangan-tangan ceroboh dari orang-orang kafir dan munafik.




2.2  QS. Adz-Dzariyat: 56
A.    Ayat dan Terjemahan
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Qs. Adz-Dzariyat: 56)
B.     Tafsir mufradat
وَمَا                           : dan tidaklah                                                 
خَلَقْتُ                       : aku menciptakan                                          
الْجِنَّ                          : jin                                                                 
وَالاِنسَ                      : dan manusia                                                 
إِلا لِيَعْبُدُونِ             : kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku
Illa liya’buduun      : kecuali supaya aku perintahkan mereka menyembah-Ku, bukan   karena Aku butuh kepada mereka. (al-Maragi, 1989: 16).
Shihab (2003:355), Ayat di atas menggunakan bentuk persona pertama (Aku) setelah sebelumnya menggunakan persona ketiga (Dia/Allah). Ini bukan saja bertujuan menekankan pesan yang dikandungnya tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa perbuatan-perbuatan Allah melibatkan malaikat atau sebab-sebab lainnya. Penciptaan, pengutusan Rasul, turunnya siksa, rezeki yang dibagikan-Nya melibatkan malaikat dan sebab-sebab lainnya, sedang di sini karena penekanannya adalah beribadah kepada-Nya semata-mata, maka redaksi yang digunakan berbentuk tunggal dan tertuju kepada-Nya semata-mata tanpa memberi kesan adanya keterlibatan selain Allah Swt.

C.  Tafsir ‘Am
Al-Maraghi (1989: 20-21), ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menciptakan mereka (jin dan manusia) kecuali supaya mereka menganal-Nya. Karena sekiranya Allah tidak menciptakan mereka niscaya mereka takkan kenal dengan keberadaan Allah dan keesaan Allah.
Segolongan mufassir berpendapat bahwa arti ayat ini adalah: Kecuali supaya mereka tunduk kepada-Ku dan merendahkan diri. Yakni, bahwa setiap makhluk dari jin dan manusia tunduk kepada keputusan Allah, patuh kepada kehendak-Nya dan menuruti apa yang telah Dia takdirkan atasnya. Kalimat ini merupakan penegas bagi suruhan agar memberi peringatan, dan juga memuat alasan dari diperintahkannya memberi peringatan. Karena, diciptakan mereka dengan alasan tersebut menyebabkan mereka harus diberi peringatan yang menyebabkan mereka wajib ingat dan menuruti nasihat.
Pengertian dalam ayat ini sama sekali tidak bertentangan dengan kenyataan, bahwa orang-orang kafir tidak menyembah-Nya. Karena sesungguhnya tujuan dari ayat ini tidaklah memastikan keberadaannya. Perihalnya sama saja dengan pengertian yang terdapat di dalam perkataanmu, "Aku runcingkan pena ini supaya aku dapat menulis dengannya." Dan kenyataannya terkadang kamu tidak menggunakannya.

D.       Nilai Tarbawi
            Konteks ibadah sangat luas cakupannya, seperti pernyataan Shihab (2003:356), Ibadah terdiri dari ibadah murni (mahdhah) dan ibadah tidak murni (ghairu mahdhah). Ibadah mahdhah adalah ibadah yang telah ditentukan oleh Allah, bentuk, kadar, atau waktunya, seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Adapun Ibadah ghairumahdhah adalah segala aktivitas lahir dan batin manusia yang dimaksudkannya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Seperti halnya mengamalkan ilmu adalah tujuan utama atau esensi dari sebuah pendidikan, dan mengamalkan ilmu itu merupakan salah satu bentuk beribadah kepada Alloh Swt. “Ilmunya diamalkan, dan amalnya dengan ilmu”. Demikian sebuah petuah dari Guru sekaitan dengan tujuan daripada ilmu. Jadi puncak dari ilmu itu adalah amal. Amal semata-mata untuk beribadah kepada Allah Swt. Namun demikian, Nabi Muhammad Saw pun mengingatkan kita untuk tidak melupakan kehidupan di dunia.
E.       Analisa
       Menurut Ahmad D Marimba, tujuan pendidikan Islam adalah identik dengan tujuan hidup orang muslim. Tujuan hidup manusia menurut Islam adalah untuk menjadi hamba Allah. Hal ini mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya. (Ahmadi dan Uhbiyati, 2003: 99)
       Adapun menurut Augustinus (354-430 SM) menyatakan bahwa, tujuan pendidikan ialah cinta sepenuhnya kepada Tuhan agar mendapat ketentraman di alam Baqa kelak. (Ahmadi dan Uhbiyati, 2003: 133)
Kedua pernyataan tersebut sesuai dengan QS. Adz-Dzariat ayat 56 yang menjelaskan bahwa tujuan hidup jin dan manusia adalah hanya beribadah kepada Allah. Tentunya sebelum mereka menghambakan dirinya pada Allah, mereka harus mengalami proses pendidikan sehingga akhir dari proses pendidikan itu adalah mencapai tujuannya untuk menghambakan dirinya kepada Allah dan mengamalkan ilmunya kepada yang lain sehingga mendapat ketentraman baik di dunia maupun di akhirat kelak.
F.        Kesimpulan
Dari uraian dan penjelasan di atas, pemakalah menyimpulkan :
1.      Tujuan utama dalam pendidikan Islam adalah membentuk pribadi muslim yang sadar akan tujuan asal mula penciptaannya, yaitu sebagai abid (hamba). Sehingga dalam melaksanakan proses pendidikan, baik dari sisi pendidik atau anak didik, harus didasari sebagai pengabdian kepada Allah SWT dan semata bertujuan memperoleh ridho Allah SWT.
2.      Secara umum tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohani serta moral yang tinggi, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota masyarakat.
3.      Tujuan akhir pendidikan adalah mengamalkan kepada yang lain.
2.3 Surat An-Nahl Ayat 90-91
A.  Ayat dan Terjemah
إِنَّ اللَّهَ يَاْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَائِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَدَكَّرُوْنَ (٩٠) وَاَوْفُوْا بِعَهْدِ اللَّهِ اِذَا عَاهَدْتُمْ وَلَاتَنْقُضُواالْاَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيْلًاۗ اِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَاتَفْعَلُوْنَ (٩١)
(90). “Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia membeli pelajaran kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran.”
(91). “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kalian berjanji, dan janganlah kalian membatalkan sumpah-sumpah (kalian) itu sesudah meneguhkannya, sedang kalian telah menjadikan Allah sebagai saksi kalian (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kalian perbuat.”



B.  Tafsir Mufradat
اَلْعَدْلُ: Secara bahasa berarti persamaan dalam segala perkara, tidak lebih dan tidak kurang. Disini dimaksudkan kesetimpalan dalam kebaikan dan keburukan.
اَلْاِحْسَانُ : Membalas kebaikan dengan yang lebih banyak dari padanya, dan membalas kejahatan dengan memberi maaf.
اِيْتَاءُذِى الْقُرْبٰى: Memberikan kepada kaum kerabat hak mereka berupa silaturahim dan kebajikan.
اَلْفَحْشَاءُ: Perkataan dan perbuatan yang buruk, termasuk didalamnya perbuatan zina, minum khamar, rakus, tamak, mencuri dan perkataan serta perbuatan lain yang tercela.
اَلْمُنْكَرُ: Apa yang diingkari oleh akal, berupa dorongan-dorongan kekuatan emosional, seperti memukul dengan keras, membunuh dan menganiaya manusia.
اَلْبَغْيُ:Menyombongkan diri kepada manusia dengan melakukan kezaliman dan permusuhan.
اَلْوَعْظُ: Pengingatan akan kebaikan dengan memberikan nasehat dan petunjuk.
اَلْعَهْدُ: Segala perkara yang secara tetap dilakukan oleh manusia dengan kemauannya sendiri, termasuk didalamnya perjanjian.
نَقْضُ الْيَمِيْنِ: Melanggar sumpah. Asalnya memisahkan sebagian anggota tubuh dari sebagian lainnya.
تَوْكِيْدُهَا: Menguatkannya.
كَفِيْلًا: Saksi dan pengawas. (Almaraghi, 1992 : 233-235)
C. Tafsir ‘Am
            Dalam ayat-ayat sebelumnya, secara jelas Allah telah menyampaikan janji-Nya bagi orang-orang yang bertakwa dan ancaman-Nya kepada orang-orang yang kafir. Berulang-ulang Allah memberikan kabar gembira dan peringatan, hingga sampai kepada puncaknya. Dalam ayat-ayat ini, Allah menyampaikan perintah-perintah ini, yang mencakup akhlak dan adab yang utama. (Almaraghi, 1992 :235)
Al-Bukhari, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, At-Tabrani, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra bahwa ayat yang paling mencakup tentang kebaikan dan keburukan didalam Kitab Allah adalah :
إِنَّ اللَّهَ يَاْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ
sesungguhnyaAllah menyuruh (kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan.”.
Menurut Al-Baihaqi dalam kitab Syu’bul Iman, dari Hasan ra, bahwa dia membaca ayat ini :
إِنَّ اللَّهَ يَاْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ
kemudian dia berkata “Sesungguhnya Allah telah menyatukan seluruh kebaikan dan keburukan bagi kalian didalam satu ayat. Demi Allah tidak sedikitpun keadilan dan kebajikan ditinggalkan dari ketaatan kepada Allah, kecuali Dia menyatukan dan menyuruh melakukannya. Tidak pula sedikitpun dari kekejian, kemungkaran dan permusuhan ditinggalkan dari kedurhakaan kepada Allah, kecuali dia menyatukan dan melarangnya.”
Dalam kitab Al-Hafidz Abu Ya’la disebutkan bahwa telah sampai berita kepada Aksam bin Saifi mengenai asal-usul Nabi Saw. Kemudian Aksam bermaksud mendatangi beliau, tetapi kaumnya tidak rela membiarkan dia meluluskan maksudnya. Mereka berkata, “Engkau adalah pembesar kami. Tidak selayaknya engkau merendahkan diri kepadanya.” Aksam berkata, “Kalau begitu hendaknya ada utusan yang datang kepadanya, seorang menyampaikan berita kepadanya tentang diriku, dan seorang lagi menyampaikan berita kepadaku tentang dirinya.” Maka terpilih dua orang untuk datang kepada Nabi Saw. Mereka berkata, “Kami adalah utusan Aksam bin Saifi. Dia menanyakan siapa dan apa anda? Nabi Saw menjwab, “Mengenai siapa aku, aku adalah Muhammad bin Abdullah, adapun mengenai apa aku, aku adalah hamba dan rasul Allah.” Kemudia beliau membacakan :
إِنَّ اللَّهَ يَاْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ
“sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (An-Nahl, 16 : 90).
Mereka berkata, “Ulangi lagi bacaan itu kepada kami.” Beliau membacanya kembali kepada mereka, sehingga mereka hafal. Setelah kembali kepada Aksam, mereka berkata kepadanya, “Dia enggan meninggi-ninggikan keturunannya. Tetapi kami mendapatinya seorang yang berketurunan suci dan pertengahan di dalam kabilah Muhdar. Dia menyampaikannya kepada kami kalimat-kalimat yang sungguh kami telah mendengarnya. Setelah mendengar kalimat-kalimat tersebut Aksam berkata, “Saya berpendapat bahwa dia menyuruh melakukan akhlak mulia dan melarang melakukan akhlak tercela. Oleh sebab itu hendaklah kalian menjadi pelopor dalam perkara ini, dan jangan menjadi ekor; jadilah orang-orang pertama dalam perkara ini, dan janganlah menjadi orang-orang terakhir.” (Almaraghi, 1992 : 237)
Sa’id bin Jubair meriwayatkan dari Qatadah tentang riwayat ini bahwa tidak ada satu ayatpun yang dipandang baik oleh orang jahiliyyah, kecuali allah menyuruh melakukannya dan tidak ada satupun akhlak buruk kecuali Allah melarangnya, sesungguhnya akhlak yang dilarang Allah adalah akhlak tercela.(Almaraghi, 1992 : 237)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa yang dimaksud adil di sini adalah menjadi bapak untuk anak kecil, anak untuk orang tua, saudara untuk yang sebaya, juga menjatuhkan hukuman sesuai dengan kesalahannya, dan jangan memukul ketika marah. (Almaraghi, 1992 : 239)
Sedangkan ihsan adalah berbuat baik tehadap orang yang berbuat buruk kepada kita, dalam shahihaini diriwayatkan dari Hadits ibnu Umar ihsan adalah “ihsan adalah kamu beribadah kepada Allah seakan kamu melihat-Nya, dan sekiranya kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. (Almaraghi, 1992 : 239)
Kemudian Allah juga memerintahkan tiga perkara yang yang dilarang-Nya yaitu melarang untuk mengikuti kekuatan syahwat dan keburukan yang lahir dari kemarahan, juga dzalim terhadap manusia.
Setelah menyajikan perintah dan larangan secara garis besar didalam ayat pertama, kemudian Allah menyajikan kembali secara khusus.
Pada ayat selanjutnya Allah memerintahkan untuk memenuhi janji, karena sesungguhnya setiap perjanjian yang dibuat baik itu kepada kaum muslim atau kafir adalah janji itu hanya kepunyaan Allah SWT, dan Allah menjelaskan balasan bagi orang yang melanggar janji itu yaitu adzab yang sangat pedih. (Almaraghi, 1992 : 241)



D. Analisa
John Dewey (AS, 1859-1952) menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mendidik anak menjadi warga negara yang baik. (Ahmadi dan Uhbiyati, 2003:134).
Pernyataan tersebut sesuai dengan surat an-Nahl ayat 90-91 bahwa tujuan dari pendidkan yaitu akhlak yang baik. Karena salah satu aspek dari tujuan pendidikan yaitu menjadi warga negara yang baik, dan untuk mencapainya itu harus mempunyai akhlak yang baik, dan salah satu akhlak yang baik itu diantaranya adil dan ihsan. Salah satu cara memperkenalkan akhlak yang baik kepada anak yaitu dengan pemenuhan janji.
E. Nilai Tarbawi
Nilai tarbawi yang dapat diambil dari ayat tersebut yang berkenaan dengan tujuan pendidikan adalah:
1.      Tujuan dari pendidikan adalah menyuruh melakukan akhlak mulia dan melarang melakukan akhlak tercela. Misalnya berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk kepada kita, berbuat adil dan bersilaturahim termasuk perbuatan yang baik, menepati janji.
2.      Berlaku ihsan.
3.      Menjatuhkan hukuman sesuai dengan kesalahannya.
F. Kesimpulan
Sesungguhnya Allah memerintah berlaku adil, yaitu melaksanakan kebaikan sekedar memenuhi kewajiban. Berbuat ihsan, yaitu menanamkan ketaatan dan pengagungan perintah Allah, dan mengasihi makhluk-Nya diantaranya yang paling mulia ialah mengadakan silaturahim.
Allah memerintahkan untuk memenuhi janji, karena sesungguhnya setiap perjanjian yang dibuat baik itu kepada kaum muslim atau kafir adalah janji itu hanya kepunyaan Allah SWT, dan Allah menjelaskan balasan bagi orang yang melanggar janji itu yaitu adzab yang sangat pedih.
2.4    Surat Saba’ Ayat 28
A.  Ayat dan Terjemah
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ (٢٨)
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”.

B.     Tafsir Mufrodat
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ : dan tidak Kami mengutus kamu
إِلاَّ           : melainkan
كَافَّةً         : seluruh
لِلنَّاسِ        : untuk manusia
بَشِيرًا        : pembawa kabar gembira
وَنَذِيرًا        : dan pemberi peringatan
وَلَكِنَّ        : tetapi
أَكْثَرَ        : kebanyakan
النَّاسِ        :manusia
لاَ يَعْلَمُونَ   : mereka tidak mengetahui
Kata (كافّة) kaaffah, menurut Thabaathabaa’i dan beberapa ulama lain, terambil dari kata (كفّ) kaffa yang berarti menghalangi. Atas dasar itu, mereka memahami penggalan ayat di atas bermakna : Kami tidak mengutusmu kecuali berfungsi sebagai penghalang yang sangat unggul terhadap manusia agar mereka tidak melakukan aneka kedurhakaan. Ini dikuatkan oleh kalimat sesudahnya yaitu basyiiran wa nadzriian. Banyak ulama memahami kata kaaffah  dalam arti semua dan ia pada ayat ini berfungsi menjelaskan keadaan an-naasl manusia. Dengan demikian, ayat ini menganugerahkan risalah Nabi Muhammad SAW yang mencakup semua manusia. Ayat ini, menurut mereka, berarti Kami tidak mengutusmu kecuali pengutusan untuk seluruh manusia. Pendapat ini sejalan dengan fungsi Nabi Muhammad SAW yang diutus membawa rahmat bagi seluruh alam.

C.    Tafsir ‘Am
Ayat ini pun dipahami oleh Thabaathabaa’i sebagai mengandung argumentasi tentang keesaan Allah SWT. Ulama ini menulis bahwa: “Risalah atau pengutusan para Nabi merupakan salah satu keniscayaan keesaan Allah SWT karena Tuhan selalu memerhatikan dan mengurus hamba-hamba-Nya serta mengantar mereka menuju kebahagiaan. Keumuman risalah Nabi Muhammad SAW dimana beliau merupakan utusan Allah SWT bukan utusan selain-Nya membuktikan bahwa Tuhan tidak lain kecuali Allah SWT. Seandainya ada tuhan lain, tentu yang lain pun akan mengutus utusannya kepada sebagian masyarakat umat manusia, dan dengan demikian, risalah Nabi Muhammad SAW tidak mencakup seluruh manusia . Tetapi ternyata, tidak ada seorang pun yang mengaku utusan tuhan “yang lain” itu. Dalam konteks ini, Sayyidinaa Ali r.a berkata: “Seandainya Tuhanmu memiliki sekutu pastilah Rasul ‘sekutu-Nya’ itu datang juga menemui Anda.” Selanjutnya, Thabaathabaa’i memahami firman-Nya: Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui dalam arti kebanyakan manusia tidak megetahui bahwa keterbatasan sumber pengutusan rasul-rasul hanya dari Allah SWT merupakan bukti keterbatasan ketuhanan hanya pada Allah SWT semata-mata. (Shihab, volume 11, 2009: 621-622).
Pada ayat ke-28 ini dijelaskan pula bahwa Allah SWT menerangkan bahwa Nabi Muhammad SAW bukan saja sebagai utusan kepada seluruh manusia, tetapi beliau juga bertugas sebagai pembawa berita gembira bagi orang-orang yang mempercayai dan mengamalkan risalah yang dibawanya itu dan sebagai pembawa peringatan kepada orang-orang yang mengingkarinya atau menolak ajaran-ajarannya.
Nabi Muhammad SAW adalah Nabi penutup, tidak adalagi Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah SWT setelahnya. Dengandemikian, pastilah risalah yang dibawanya itu berlaku untuk seluruh manusia sampai hari kiamat. Dan karena risalahnya itu adalah risalah yang terakhir, maka didalam risalahnya tercapailah peraturan-peraturan dan syariat hukum-hukum yang layak dan baik untuk dijalankan disetiap tempat dan disetiap masa, karena risalah yang dibawanya itu bersumber dari Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui. Dialah yang menciptakan langit dan bumi dan segala apa yang ada pada keduanya. Dialah yang mengatur semuanya itu dengan peraturan yang amat teliti sehingga semuanya berjalan dengan baik dan harmonis. Allah SWT yang demikian besar kekuasaan-Nya tidak mungkin akan menurunkan suatu risalah yang mencakup seluruh umat manusia jika peraturan-peraturan dan syariat itu tidak mencakup seluruh kepentingan manusia pada setiap masa.
Dengan demikian pastilah risalahnya itu risalah yang baik untuk diterapkan kepada semua umat didunia ini. Hal ini tidak diketahui oleh semua orang bahkan kebanyakan manusia menolak dan menantangnya.
Setelah membuktikan keesaan Allah dan menampik sembahan-sembahan dan kepercayaan kaum musyrikin, ayat di atas beralih guna membicarakan kenabian Nabi Muhammad SAW dengan menyatakan bahwa Allah Yang Maha Esa dan Kuasa itu telah mengutus Rasu-Nya dengan membawa bukti kebenaran, yaitu Al Quran. Kemudian Allah SWT mengarahkan firman-Nya kepada Nabi Muhammad SAW dengan menyatakan bahwa: Dengan sebagaimana Kami telah menganugerahkan keutaman kepada Daud (ayat 10) Kami pun mengutusmu, melainkan menyeluruh kepada umat manusia sebagai pembawa berita gembira bagi mereka yang melaksanakan ajaran yang engkau sampaikan dan pemberi peringatan bagi yang enggan mempercayaimu, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui bahwa enngkau adalah Rasul-Nya lebih-lebih lagi bahwa engkau Kami utus untuk seluruh manusia kapan dan dimana pun.
Ayat di atas tidak lagi menggunakan bentuk perintah untuk menyampaikan fungsi Nabi Muhammad SAW sebagaimana bentuk perintah pada ayat-ayat yang lalu. Ini agaknya untuk mengingatkan seluruh manusia betapa tinggi kedudukan Rasul SAW di sisi Allah SWT, dan begitu pula betapa tinggi kedudukan ilmu.

D.    Nilai Tarbawi
Nilai tarbawi yang dapat di ambil dari surat Saba’ ayat 29 adalah:
1.         Bahwa Allah mengutus Rasululloh supaya memerhatikan dan mengurus umatnya serta mengantar mereka menuju kebahagian. Bergitupun dengan tujuan seorang pendidik adalah Memerhatikan dan mengurus peserta didiknya serta mengantar mereka menuju kebahagian di masa depan kelak.
2.         Ilmu merupakan berita gembira bagi orang-orang yang mempercayai dan mengamalkan risalah yang dibawanya itu dan sebagai pembawa peringatan kepada orang-orang yang mengingkarinya atau menolak ajaran-ajarannya.
3.         Peraturan-peraturan dan syariat hukum-hukum Islam merupakan peraturan dan hukum yang layak dan baik untuk dijalankan disetiap tempat dan disetiap masa.
4.         Seorang pendidik hendaknya mengaitkan dalam setiap pembelajarannya betapa tinggi kedudukan Rasul Saw. di sisi Allah Swt. dan begitu pula betapa tinggi kedudukan ilmu.

E.     Analisa
Menurut John Dewey (AS, 1859-1952) menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk anak menjadi warganegara yang baik. (Ahmadi dan Uhbiyati, 2003:134). Pernyataan John Dewey ini sesuai dengan ayat diatas bahwa seorang pendidik harus memberi pengajaran dan peringatan kepada peserta didiknya yang masih belum paham, baik berupa ilmu maupun peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang ada di negara juga hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang di syari’atkan oleh Islam supaya menghantarkan peserta didik menjadi warga negara yang baik dan bahagia kelak di masa depannya.

F.     Kesimpulan
Dari penjelasan QS. Saba ayat 28 dapat disimpulkan bahwa Allah mengutus Nabi Muhammad Saw adalah untuk menyampaikan kabar gembira dengan membawa risalah dan peraturan-peraturan serta hukum-hukum yang dapat menjadikan hidup manusia nyaman dan bahagia dunia juga akhirat. Selain itu, bahwa di jelaskan begitu tingginya kedudukan ilmu.
Begitu juga tujuan akhir pendidikan adalah supaya menjadi manusia yang utuh, yang bahagia di dunia juga di akhirat.

2.5    Surat Shaad Ayat 29
A.    Ayat dan Terjemah
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الألْبَابِ (٢٩)
Artinya: “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran”.
B.   Tafsir Mufrodat
كِتَابٌ        : Kitab
أَنْزَلْنَاهُ        : Kami turunkannya
إِلَيْكَ         : kepadamu
مُبَارَكٌ         : penuh keberkatan
لِيَدَّبَّرُوا        : supaya merekamemperhatikan
آيَاتِهِ          : ayat-ayatnya
وَلِيَتَذَكَّرَ      : dan supaya mendapat pelajaran
أُولُو          : orang-orang yang mempunyai
الألْبَابِ     : hati/pikiran
Kata (الالباب) al-albaab adalah bentuk jamak dari (لبّ) lubb, yaitu sari pati sesuatu. Ulul Albaab adalah orang-orang yang memiliki akal yang murni yang tidak diselubungi oleh “kulit”, yakni  kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berfikir. Yang merenungkan ayat-ayat Allah dan melaksanakannya diharapkan dapat terhindar dari siksa, sedang yang menolaknya pasti ada kerancuan dalam cara berfikirnya.
Kata (مبارك) mubaarakun terambil dari kata (بركة) barkah  yeng bermakna sesuatu yang mantap juga berarti kebajikan yang melimpahdan beraneka ragam serta bersinambung. Demikian ar-Raaghib Al-Asfahaani.

C.    Tafsir ‘Am
            Allah SWT tak pernah menciptakan makhluk dengan sia-sia. Akan tetapi menciptakan mereka untuk beribadah dan mengesakan Allah, kemudian akan menghimpun mereka pada hari penghimpunan, lalu memberi pahala kepada orang-orang yang taat dan mengadzab orang-orang yang kafir. Kemudian, dilanjutkan dengan menerangkan keutamaan Al Quran yang telah Dia turunkan kepada rasul-Nya, sebagai pemberi petunjuk kepada umat manusia dan yang menyelamatkan mereka dari kesesatan menuju petunjuk. Apabila mereka memikirkan ayat-ayat-Nya dan menuruti nasehat-nasehat-Nya, maka mereka akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat, dan dapat mencapai kedudukan orang-orang yang bahagia dan menjadi tuan dari seluruh alam.
Kemudian Allah SWT menjelaskan bahwa Dia telah menurunkan Al Quran kepada Rasulullah dan pengikut-pengikutnya. Al Quran itu adalah kitab yang sempurna mengandung bimbingan yang sangat bermanfaat kepada umat manusia. Bimbingan itu menuntun agar hidup sejahtera di dunia dan berbahagia di akhirat. Dengan merenungkan isinya, manusia akan menemukan cara-cara mengatur kemaslahatan hidup di dunia. Tamsil ibarat dan kisah dari umat terdahulu menjadi pelajaran dalam menempuh tujuan hidup mereka dan menjauhi rintangan dan hambatan yang menghalangi. Al Quran itu diturunkan dengan maksud agar direnungkan kandungan isinya, kemudian dipahami dengan pengertian yang benar, lalu diamalkan sebagaimana mestinya. Pengertian yang benar diperoleh dengan jalan mengikuti petunjuk-petunjuk Rasul, dengan dibantu oleh Ilmu Pengetahuan yang dimiliki, baik yang berhubungan dengan bahasa ataupun yang berhubungan dengan perkembangan kemasyarakatan. Begitu pula dalam mendalami petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam kitab itu, hendaknya dilandasi tuntunan Rasul serta berusaha untuk menyemarakkan pengalamannya dengan ilmu pengetahuan hasil pengalaman dan pemikiran mereka.
Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Majid ‘Irsanal Kaylani, tujuan pendidikan Islam tertumpu pada empat aspek, yaitu:
1.      Tercapainya pendidikan tauhid dengan cara mempelajari ayat Allah SWT, dalam wahyu-Nya dan ayat-ayat fisik (afaq) dan psikis (anfus);
2.      Mengetahui ilmu Allah SWT. Melalui pemahaman terhadap kebenaran mahluk-Nya;
3.      Mengetahui kekuatan (qudrah) Allah melalui pemahaman jenis-jenis, kauntitas, dan kreatifitas mahluk-Nya; dan
4.      Mengetahuiapa yang diperbuat Allah SWT. (Sunnah Allah) tentangr ealitas (alam) dan jenis-jenis perilakunya.

D.    Nilai Tarbawi
     Dari penjelasan di atas dapat diambil bahwa nilai tarbawi dari QS. Shad ayat 29 adalah:
1.      Allah menciptakan manusia untuk beribadah dan mengesakan Allah. Jadi setelah manusia mendapatkan ilmu yang cukup, maka sudah seharusnya mengamalkan kepada yang lain sebagai bentuk ibadah kepada allah.
2.      Al Quran yang telah Dia turunkan kepada rasul-Nya, sebagai pemberi petunjuk kepada umat manusia dan yang menyelamatkan mereka dari kesesatan menuju petunjuk. Begitu pula dengan seorang pendidik, pendidik harus memberi pengajaran terhadap peserta didiknya supaya mereka tidak sesat.
3.      Memikirkan ayat-ayat-Nya dan menuruti nasehat-nasehat-Nya. Apabila dikaitkan dengan pendidikan artinya peserta didik harus mengulang-ngulang pembelajaran dan menuruti nasihat yang diberikan oleh pendidik.
4.      Tujuan akhir dari pendidikan itu adalah menuntun agar hidup sejahtera di dunia dan berbahagia di akhirat.
5.      Setelah menerima pembelajaran/pendidikan maka direnungkan kandungan yang telah disampaikan oleh pendidik, kemudian dipahami dengan pengertian yang benar, lalu diamalkan sebagaimana mestinya.

E.     Analisa
Menurut Socrates (469-399 SM) menyatakan bahwa tujuan pendidikan ialah mengembangkan daya pikir sehingga memungkinkan orang mengerti pokok-pokok kesusilaan. (Ahmadi dan Uhbiyati, 2003: 133). Pernyataan ini sesuai dengan QS. Shaad ayat 29 bahwasannya pendidikan itu dimulai berpikir rasional disertai akal dan melalui pembelajaran kemudian direnungkan hasil pembelajaran tersebut lalu dipahami dan diamalkan sebagai mestinya sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Setelah semua dilaksanakan maka kita akan paham bagaimana tujuan pendidikan itu.
F.     Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan menurut QS. Shaad ayat 29 adalah:
1.      Mengembangkan pemikiran dan akal supaya bisa memahami ilmu.
2.      Pendidikan diawali dengan pembelajaran kemudian menelaah/memahaminya, setelah paham maka diamalkan sebagai bentuk ibadah kepada allah.
3.      Tujuan akhir dari pendidikan adalah berserah diri kepada Allah supaya bahagia dunia dan akhirat.














BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari pemaparan diatas pemakalah menyimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan menurut QS. At-Taubah: 122, Adz-Dzariyat: 56, an-Nahl 90 dan 91, Saba: 28 dan Shad: 29 adalah:
1.      Tujuan utama dari pendidikan adalah membimbing, mengajarkan dan memberi nasihat kepada peserta didik tentang akibat kebodohan dan tidak mengamalkan apa yang mereka ketahui, dengan harapan supaya mereka takut kepada Alloh SWT dan berhati-hati terhadap akibat kemaksiatan, dan mampu menyebarkan pada orang lain.
2.      Tujuan utama dalam pendidikan Islam adalah membentuk pribadi muslim yang sadar akan tujuan asal mula penciptaannya, yaitu sebagai abid (hamba). Sehingga dalam melaksanakan proses pendidikan, baik dari sisi pendidik atau anak didik, harus didasari sebagai pengabdian kepada Allah SWT dan semata bertujuan memperoleh ridho Allah SWT.
3.      Secara umum tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohani serta moral yang tinggi, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota masyarakat.
4.      Tujuan dari pendidikan adalah menyuruh melakukan akhlak mulia dan melarang melakukan akhlak tercela. Misalnya berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk kepada kita, berbuat adil dan bersilaturahim dan menepati janji.
5.      Berlaku ihsan.
6.      Menjatuhkan hukuman sesuai dengan kesalahannya dan peraturan yang ada.
7.      Mengantar peserta didik menuju kebahagian di masa depan kelak.
8.      Ilmu merupakan berita gembira.
9.      Menerapkan peraturan-peraturan dan syariat hukum-hukum Islam merupakan peraturan dan hukum yang layak dan baik untuk dijalankan disetiap tempat dan disetiap masa.
10.  Seorang pendidik hendaknya mengaitkan dalam setiap pembelajarannya betapa tinggi kedudukan Rasul Saw. di sisi Allah Swt. dan begitu pula betapa tinggi kedudukan ilmu.
11.  Tujuan akhir dari pendidikan itu adalah menuntun agar hidup sejahtera di dunia dan berbahagia di akhirat.
12.  Setelah menerima pembelajaran/pendidikan maka direnungkan kandungan yang telah disampaikan oleh pendidik, kemudian dipahami dengan pengertian yang benar, lalu diamalkan sebagaimana mestinya.




















DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M. Quraish. 2003. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera.
Al Marafagi, Ahmad Mustafa. 1989. Tafsir Al-Maragi. Semarang: CV Toha Putra Semarang.
Al Marafagi, Ahmad Mustafa. 1992. Tafsir Al-Maragi. Semarang: CV Toha Putra Semarang.
Al Marafagi, Ahmad Mustafa. 1993. Tafsir Al-Maragi. Semarang: CV Toha Putra Semarang.
kitab ‘inaayatan. jilid vii. penerbit: yayasan pembinaan masyarakat islam. cetakan pertama 1400H/1980M.
Tafsir Al Misbah, volume 11, M. Quraish Shihab. halaman 621-622- 2009 cetakanke-2. Penerbit. Lentera hati.
Ahmadi, Abu. 2003. Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.



1 opmerking:

  1. Terima kasih atas artikelnya izinkan saya mengutip dari sebagian artikelnya

    AntwoordVee uit